Budaya Korupsi di Dunia

Budaya Korupsi (telaah pemikiran Syekh Hossen Nasr)

Istilah korupsi adalah istilah dalam wacana tata negara. Orang-orang eropa menuding budaya asia menjadi penyebab tingginya korupsi di asia. Tudingan itu dibantah oleh Sayyed Hossen Nasr. Menurut dia budaya asia juga menolak esensi korupsi; pencurian dan peniupuan. Kebiasaan memberi dan menerima hadiah pada orang asia tidak bisa dimaknai sebagai budaya jelek karena kebenarannya tetap terkait dengan waktu dan tempat. Ada yang benar (bukan korupsi) dan ada yang salah (korupsi) sesuai dengan waktu dan tempat

A. Pendahuluan.

Manuasia dalam kehidupannya, tidak lepas dengan aktifitas, daya cipta dan kreasinya.Kehidupan manusia tak lepas dari upaya-upaya untuk “mempermudah”hidupnya. Bersamaan dengan itu manusia menemukan hal-hal yang baru, tetapi anehnya seringkali dia terbelenggu dengan kreasinya sendiri, ibarat seekor laba-laba yang merangkai sarangnya dan akhirnya dia terjebak oleh sarangnya. Begitulah gambaran manusia dalam lingkungan budayanya.
Dalam perjalanan sejarah manusia , diwarnai dengan nilai budaya yang senantiasa menuntun perilaku kehidupan manusia itu sendiri. Satu hal yang menarik dari sini adalah munculnya gugatan-gugatan yang muncul kemudian (modern) terhadap nilai –nilai budaya yang telah ada, bahkan sempat muncul usaha pencarian garis budaya dalam melihat gejolak sosial yang ada ; baik gejolak yang positif maupun yang negatif. Hal ini memang tidak berlebihan jika kita melihat bahwa sebenarnya manusia bergerak dari nilai ke nilai dalam perilakunya.
Banyak fenomena social yang muncul , menjadi masalah di tengah masyarakat, disebabkan karena penyebarannya yang meluas dan di sinyalir adanya dukungan dari nilai-nilai budaya yang ada dalam komunitas masyarakat tertentu. Fatalnya ketika manusia modern membuat rumusan tata nilai, banyak hal-hal yang berbeda dengan tata nilai yang telah ada. Dari sini bisa dimunculkan pertanyaan berkisar masalah tata nilai budaya, benarkah tata nilai budaya yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat mempunyai andil dalam melahirkan gejolak social yang dianggap oleh rumusan modern – negatif ? Dalam makalah ini akan dibicarakan gejala social korupsi yang dibahas oleh S.H.Alatas, seorang guru besar pada jurusan kajian melayu , universitas nasional singapura. Korupsi adalah salah satu bentuk penyimpangan moral yang begitu lama dikenal manusia, sulit untuk diberantas karena adanya hambatan teknis dan bahkan ideologis. Dalam bukunya Alatas telah mengambil sikap terhadap korupsi, yang menjadi sanggahan terhadap persepsi sarjana – sarjana barat dalam masalah korupsi. Dalam bukunya dia menguraikan sejarah korupsi dalam masyarakat kuno sampai Asia modern, Korupsi yang dihadapkan dengan masyarakat manusia yang memiliki moralitas dan cita-cita luhur.

Sebelum melihat korupsi dalam sejarah Romawi dan Cina kuno serta Asia modern, Alatas memaparkan terlebih dahulu rumusan korupsi. Dia meminjam rumusan Brooks, menurut Brooks korupsi merupakan perbuatan yang dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban , atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. 3) Menurut Alatas definisi tersebut cukup luas dan masih memerlukan sedikit modifikasi, dan Alatas cender uang memasukkan nepotisme dalam rumusan korupsi. Dia membuat ciri-ciri korupsi sebagai berikut :
a.Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.
b.Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat umumnya.
c.Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
d.Dilakukan dengan rrahasia , kecuali dalam keadaan di orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu.
e.Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.
f.Adanya keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain.
g.Terpusatnya kegiatan pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhi.
h.Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hokum.
i.Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi. 4)

1. Korupsi di kekaisaran Romawi kuno.
Sejarah korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia bermasyarakat, yakni pada tahap tatkala organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Intensitas korupsi berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlainan. Catatan kuno mengenai masalah ini, menunjukkan bahwa penyuapan terhadap hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintah menjadi faktor terjadinya korupsi. tinggi rendahnya tingkat korupsi yang nyata, lebih tergantung pada faktor sejarah dan faktor sosiologis serta faktor lain dari pada jenis ancaman hukuman yang dikeluarkan. 5)

3). R.C.Brook, Coruption in American Politics and life, hal. 46.
4). S.H.Alatas , Korupsi, hal. 8
5). Alatas , hal. 3



Masalah korupsi mendapat perhatian besar dari para penulis Yunani kuno dari pada para penulis lain di negara manapun pada masa yang sama. Hal ini disebabkan semakin besarnya pengaruh kecenderungan demokrasi dan adanya dukungan publisitas untuk menjatuhkan martabat lawan politik. Contoh yang berasal dari Yunani kuno adalah peradilan Kimon (463 SM), seorang prajurit dan negarawan terkemuka Athena atas tuduhan melakukan pengkhianatan menerima suap dari Alexander raja Macedonia. Jaksanya adalah negarawan terkemuka pericles yang berusaha menggulingkan Kimon . Kimon dibebaskan dari tuduhan dan persaingan memperebutkan pengaruh terus berlanjut, tetapi untuk menjatuhkan martanbat seorang prajurit dan negarawan yang setia dengan cara menuduh korupsi adalah karena cara Kimon menggunakan kekayaannya. Pengalaman Yunani kuno itu memberi pola yang pasti pada kita bahwa korupsi menjadi pusat perhatian dalam sejarah sebagai akibat dari suatu pertentangan kelompok dlam suatu system yang mengundang unsur Demokrasi. 6)
Sejarah Romawi memberi gambaran yang sedikit banyak serupa. Hanya saja intensitas dan keragaman korupsi di Romawi lebih besar dari pada Yunani, karena adanya sebuah kekaisaran . selama tiga puluh tahun pertama abad II SM Romawi mengalami berbagai perubahan ekonomi, politik, social dan pertanian. Terjadilah peningkatan kekayaan para jenderal, prajurit dan negara. Kelas-kelas baru bermunculan . lahirlah kebiasaan bermewah-mewah.kebiasaan untuk menahan diri dn disiplin melemah di bawah pengaruh urbanisasi dan mekarnya kekuasaan Romawi. Menurut Ferrero, pada waktu itu korupsi tidak sepenuhnya dilakukan secara terang-terangan dan tak kenal malu. Romawi terguncang bila ada pembeberan skandal, misalnya hakim Hastilius Tubulus, ia dijatuhkan hukuman (142 SM) karena menjual keputusan dalam pengadilan yang memeriksa perkara pembunuhan. Orang –orang yang beruang mulai terlihatduduk di tempat kehormatan seperti senator. Uang telah menjadi penguasa tertinggi dalam negara. Faktor lain yang mendorong berkembangnya korupsi adalah perubahan penghasilan ke tangan senat, para hakim jadi korup. Korupsi terutama berkembang di suatu masyarakat di mana kekuatan adalah kebenaran. Dan itu terjadi di Romawi. Perlawanan korupsi muncul bila suasana politik menganggap hal itu perlu.


6). Alatas, hal. 5

4

Hal ini terjadi beberapa abad kemudian tatkala Diocletian dalam dekrit yang tidak ada presendennya pada tahun 301 M mencoba menetapkan upah dan harga baku untuk seluruh kerajaan, dan dia menetapkan hukuman bagi pelanggarnya.
Tahun 319 M kaisar Konstantin juga menekan korupsi namun hasilnya kecil. Korupsi di Romawi menunjukkan sumbernya yang jelas yaitu ; kerakusan manusia dan kegandrungan kepada kekuasaan. 7)

2. Korupsi di Cina kuno
Di Cina kuno korupsi merupakan masalah gawat. Orang – orang bijak di Cina menentang korupsi dalam kata-kata yang jelas. Nuansa korupsi di Cina lebih banyak didominasi fenomena perekonomia. Praktek kolusi antara pedagang dan raja-raja kecil juga para bangsawan menjadi bagian penting. Chao Tso dengan keras mengutuk para pengusaha dan pedagang. Sesuatu yang secara jelas menunjuk pada perjuangan keals. Kaum pedagang baik kecil maupun besar selalu menimbun barang dagangannya agar dapat mengeruk keuntungan dan dengan kekayanya mereka bersekutu dengan para raja-raja kecil dan bangsawan. Pengaruh mereka lebih lebih vesar dari pada pejabat pemerintah. Chao Tso kemudian melihat adanya kontradiksi yang berlangsung di zamannya.hukum dan peraturan menghormati para petani, namun mereka tetap miskin dan tertipu. Sedang para pedagang tidak dihormati oleh hokum, namun mereka kaya dan terpandang. Menurut Tung Chung Shu, seorang ahli filsafat konghucu yang terkemuka di zamannya, dalam pidatonya di depan raja 100 SM, pemerasan yang tidak adil atas para petani dan kaum miskin niscaya menimbulkan masalah sosial yang gawat. Dalam keadaan seperti ini para pejabat yang tamak dan kejam, tanpa pikir panjang akan mengenakan hukuman dan pidana yang berat. Rakyat yang telah terjerumus ke dalam kepedihan, tidak mempunyai sarana untuk hidup ; dan mereka menjadi pencuri dan penyamun. Mereka yang tertangkap dan dihukum setiap tahun berjumlah puluhan ribu. Korupsi begitu meluas dan berbahaya dalam keadaan seperti itu..
Dalam masyarakat yang terjangkit korupsi, semua peraturan pemerintah , betapapun masuk akal tujuannya, menjadi sumber korupsi baru. Peraturan pemerintah mengenai produksi digunakan oleh para pejabat yang korup untuk memperkaya diri mereka sendiri.


7). S.H. Alatas , hal. 41

5

Meningkatnya kejahatan dan kasak-kusuk berlangsung bahu membahu bersama korupsi. banyak kaisar yang hendak memperbesar pendapatan negara dengan cara yang mirip dengan penyuapan terang-terangan. Cara ini adalah penjualan jabatan dan pangkat. Para petani pun diberi peluang membeli gelar dengan padi meraka. Sebagai cara untuk mengnagkat dunia pertanian. Orang-orang bijak dan sejarawan Cina sadar bahwa harus ada suatu patokan yang membedakan pemerintah baik dan pemerintah buruk. Mo Tzu (470-396 SM) misalnya, dia memberikan pemikirannya bahwa hidup menurut
Mo Tzu harus berpedoman pada patokan sebagai tolok ukur perbuatan seseorang. Kaisar dan raja-raja berbagai negara yang memerintah tanpa Patokan, niscaya akan kurang tepat bila dibandingkan dengan para tukang, yang dalam bekerja memakai patokan. Apakah yang merupakan patokan ? apakah tingkah laku orang tua kita , guru kita, atau pangeran ?. menurut MoTzu patokan seperti itu terlalu banyak untuk dijadikan satu patokan yang baku. Yang baku harus universal dan tidak khusus. Hanya langit (zat Illahi) sajalah yang dapat menentukan patokan. Bagaiman kita dapat tahu kemauan zat Illahi ? MoTzu memberikan metode dengan memperhatikan segala sesuatu disekeiling kita. Langit tidak memberikan pangan bagi beberapa orang saja, tetapi bagi semuanya. Ini berarti langit menghendaki semua orang makan. Dengan anggapan bahwa langit menyayangi semua orang dan memberi pangan senua orang, lalu bagaimana mungkin orang mengatakan bahwa langit tidak menghendaki manusia saling mencintai dan membantu sesama lain. Patokan langit adalah yang terbesar , tidak ada yang menyamai langit. Maka keadilan, belas kasihan, kebenaran, ketertiban dan semua nilai penting harus diyakini sebagai patokan universal dan diamalkan demi tercapainya kesejahteraan. Korupsi di Cina Kuno terus terjadi meskipun banyak upaya-upaya dilakukan untuk memberantasnya. Kolusi pengusaha dan pejabat selalu mewarnai perjalanan sejarah Cina dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang memberatkan.

3. Korupsi di Asia Modern.
Periode Asia Modern dimulai sejak kemerdekaan negara-negara Asia dari penjajahan. Dalam masalah korupsi, fenomena yang ada tidak bisa dilepaskan dengan masa penjajahan yang panjang itu.perang dan kemerdekaan negara-negera Asia dari pemerintah barat memberi gambaran secara jelas dalam hal mewabahnya korupsi yang menandai periode pasca perang.


6


Dibawah pemerintahan kolonial terdapat juga korupsi, tetapi dinamika dan gejalanya sangat berubah menyusul bebasnya negara-negara itu dari penjajah barat. Perubahan drastic ini terutama disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a.Meluasnya korupsi selama masa peperangan yang mendahului masa kemerdekaan .
b.Membangkaknya urusan pemerintah secara mendadak.
c.Meningkatnya kesempatan korupsi dalam skala uang lebih tinggi secara mendadak
d.Lahirnya berbagai tingkat kepemimpinan yang terdiri dari orang-orang yang martabat moralnya rendah.
e.Tidak dimilikinya pengalaman oleh para pemimpin perjuangan kemerdekaan dalam membina pemerinahan yang bersih dan efesien.Beberapa diantaranya bersikap masa bodoh dan kurang bermoral.
f.Terjadinya manipulasi secara intrik-intrik melalui korupsi dan kekuatan keuangan serta bisnis Asing.
Sebelum perang, menurut laporan , korupsi dilakukan oleh para pegawai rendahan. Kurangnya likuidasi sumber-sumber membatasi kesempatan dan kapasitas korupsi setelah penyerahan kedaulatan dimasa kemerdekan, patriotisme dan cita-cita luhur berkembang subur. Berbagai usaha dilakukan untuk menanggulangi merajalelanya korupsi. Namun usaha-usah tersebut terhambat karena hal-hal berikut : Namun, berbagai faktor pada tingkat tertentu berfungsi menggalakkan gerakan anti korupsi. Berkembangnya kegiatan ekonomi pemerintah secara tiba-tiba dengan dikeluarkannya sejumlah besar peraturan , berbagai pengawasan, berbagai lisensi dan perizinan lain membuka peluang-peluang baru dan luas. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan politik diberbagai tingkatan menyebabkan tercapainya sasaran dinilai lebih penting dari pada sarana yang diterapkan. Ketidakpuasan terhadap orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam pemerintahan tidak ditanggapi dengan cara sebagaimana mestinya kalau kepercayaan masyarakat hendak dipertahankan.







7


Disini kelemaha menciptakan sinisme dan semakin membesarkan keyakinan bahwa sementara pemerintah menentang korupsi namun ia tidak menentang orang-orang yang korup, kalau orang-orang ini mempunyai kekuasaan, pengaruh, dan pendukung diri cukup kuat. 8) . Begitulah gambara garis besar korupsi di Asia Modern.

C. Sebab – Sebab Korupsi di Masyarakat Asia.
Di negarra-negara asia yang baru saja merdeka, para pemimpin adalah korup atau membiarkan terjadinya korupsi.Banyak diantara pemimpin tertinggi di Asia hanya berpura-pura saja menentang korupsi. Akibatnya kekuatan-kekuatan yang korup memperkukuh posisinya dan membebaskan daerah operasinya dari gangguan, maka efek bola salju korupsi mulai berlangsung. Rakyat yang miskin dpat menyaksikan tanda-tanda kemakmuran disekeliling mereka; pencakar langit, hotel besar, mobil mengkilat dan lainnya kesemuanya itu masih ditambah lagi dengan system pemerintahan. Perkawinan antar dunia usaha dan politik sudah dikenal. Sebab korupsi lainnya adalah bertambahnya jumlah pegawai negeri denagn cepat, dengan akibat gaji meraka menjadi sangat kurang. Hal ini kemudia mengakibatkan perlunya tambahan pengahsilan. Hal ini dimanfaatkan oleh dunia usaha dan industri memperkenalkan metode semir, padahal sesungguhnya birokrasi itu sendiri telah lama mengidap dalam semir.
Ada sebab lain dalam korupsi yaitu lembaga hadiah dan menyantuni keluarga. Diduga orang Asia tidak tahu perbedaan antara kewajiban masyarakat dan kewajiban perorangan, dan seringkali juga perbedaan antara sumber milik pemerintah dan sumber milik pribadi. Dari situlah terjadi korupsi. Dan sebab ini ada dari zaman ke zaman yang tidak timbul dari peprangan.
Gambaran diatas pada mulanya timbul dari sikap etnosentris yang dianut oleh sementara pemikir barat, seperti Hegel. Weber dalam karyanya sering menggambarkan orang Asia sebagai kanak-kanak. Ia menyatakan bahwa birokrasi modern adalah ciptaan barat. Didalam birokrasi modern pejabat mempunyai lingkup yuridiksi, suatu jenis kegiatan yang teratur dan seperangkat peraturan yang menata kegiatan birokrasi.

8). S.H. Alatas, hal. 89 - 90

8

Sedangkan birokrasi patrimonial adalah sebaliknya. Kelemahan birokrasi patrimonial adalah terutama tidak mengenal birokratis antar lingkup pribadi dan lingkup resmi, juga pelaksanaan pemerintah dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa, dan kekuasaan politik dianggap sebagai bagian dari milik pribadinya, yang menjadikannya cenderung bebas.
S.H.Alatas mengakui bahwa dunia modern menciptakan berbagai bentuk organisasi baru. Memang benar terdapat negara baru dan birokrasi baru. Namun menurut Alatas keliru jika kita menautkan etika dan nilai tertentu dengan bentuk-bentuk terdebut, seolah-olah etika dan nilai itu adalah unsure-unsur yang tak dapat dipisahkan dan kelangsungan hidupnya tergantung pada kesatuannya dengan bentuk-bentuk itu. Para pengamat barat juga sangat menggemakan persepsi bahwa etika anti korupsi dalam pelayanan umum berasal dari barat. Kekeliruan meraka adalah bahwa nilai-nilai etis yang menentang korupsi dikaitkan dengan system birokrasi.
Abueva (ahli administrasi yang bersikap mendua terhadap korupsi) menggambarkan pengaruhkeluarga tradisional dan muak terhadap kesetiaan dan keterkaitan para anggotanya, bahwa pemerintahan adalah sebagai perluasan keluarga belaka dan para pemimpin politik beserta birokrat sebagai tokoh paternal dan kenyataan ini menimbulkan harapan hubungan timbal balik antara pemerintah dan pihak yang diperintah yang sama sekali lain dengan hbubngan yang ada dalam pemerintahan modern.
Faktor-faktor yang berasal dari masa silam dan masih melekat pada masyarakat, seperti solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah dianggap sebagai sebuah korupsi yang lain. Midral mengatakan, dari pengamatan kita ketahui bahwa korupsi lebih banyak terjadi di Asia dari pada di barat, kita memperoleh kesan adanya adat kebiasaan yang berbeda seperti dimana, bagaimana, dan bilamana orang boleh mengambil keuntungan pribadi. Tidak adanya pasar yang kuat dari perilaku ekonomi yang dikendalikan oleh perhitungan rasional mendorongt umbuhnya hubungan yang tergantung pada pertalian yang ditumbuhkan oleh adat kebiasaan dan kekuasaan. Dalam lingkup seperti itu uang suap yang diberikan kepada orang yang memegang jabatan di dalam pemerintah tidak terlalu berbeda dengan hadiah, upeti dan kebiasaan lain. Irulah hubungan etiologis antara kebiasaan memberi hadiah dan praktik korupsi.




9
Alatas menolak penjelasan dari tokoh-tokoh daiatas. Bahwa masyarakat tradisional Asia selalu membedakan urusan umum dengan urusan pribadi, korupsi dan bukan korupsi. Dia merujuk pada sejarah Cina. Tentang nilai budaya nasional, dia juga menolak sebagai pendorong korupsi, dan bahkan dia menganggap para koruptor adalah pelanggar kedua nilai tersebut. Menurut dia perkerabatan yang ada dalam tradisi masyarakat Asia bukan untuk mendorong perbuatan yang bertentangan dengan moral sebagai sarana untuk menolong sanak saudara.
Dia kembali membuat analisa fenomenologis, bahwa unsure korupsi adalah penipuan dan pencurian. Masyarakat trasisional tidak memanfaatkan pencurian dan penipuan diantara orang-orang yang hidup bersama dalam keselarasan.Dalam masyarakat tradisional juga terdapat berbagai mata pekerjaan yang tidak mengenal nepotisme, contoh pengangkatan dukun atau pendeta agam dan lainnya. Kebiasaan masyarakat dimanfaatkan sebagai lahan korupsi.9)

D. Analisa
Pemikiran dan sikap Alatas terhadap korupsi sangat komprehensip dalam arti mencakup berbagai dimensi tentang korupsi. Dalam tulisan ini hanya diambil satu yaitu tentang sebab korupsi. Sebagaimana dalam bab tiga diatas telah kita lihat bahwa secara garis besar Alatas menolak asumsi barat bahwa korupsi yang terjadi di Asia lebih disebebkan oleh adat dan kebiasaan dengan nilai-nilai kebudayaan yang masih hidup di masyarakat. Hal ini menarik kita lihat berkenaan dengan hubungan nilai budaya tradisional dengan tindak korupsi.
Dalam melihat hubungan ini, kami coba menelusuri dengan istilah sikap mental. Sebenarnya sikap mental adalah suatu istilah popular untuk dua konsep yang dalam istilah ilmiah disebut “system nilai budaya” dan “sikap”.
Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari anggota masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Dalam kebudayaan dia berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia.
Berbeda dengan konsep nilai budaya, konsep sikap bukan merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi merupakan suatu hal kepunyaan individu anggota masyarakat. Sikap adalah potensi pendorong yang ada dalam jiwa individu untuk beraksi terhadap lingkungan beserta segala hal yang ada dalam lingkunga itu.

9). S.H.Alatas, 120 - 176
10



Walaupun sikap itu ada dalam individu (jiwa) masing-masing dalam masyarakat dan seolah-olah bukan bagian dari kebudayaan, toh sikap itu bisa terpengaruh oleh kebudayaan, artinya oleh norma-norma atau konsep – konsep nilai budaya yang dianut individu yang bersangkutan. Sikap individu itu biasanya dipengaruhi oleh keadilan fisik, jiwa dan norma-norma serta konsep nilai budaya yang dianut. 10)
Dari sikap mental inilah, sering seorang pengamat budaya melihat sebagai penyebab sesuatu dalam komunitas tertentu. Misalnya sering kita mendapat hasil pengamatan bahwa sikap mental bangsa Indonesia kurang pas dalam pembangunan dan mereka sering memunculkan konsepnya tentang sikap mental pembangunan.
Kalau kita tarik ini dalam problem korupsi, bisa jadi pengamatan para pengamat barat terhadap Asia tenggara, yang menggambarkan bahwa sikap mental orang-orang Asia tenggara masih kekanak-kanakan, merupakan kesimpulan bahwa sikap orang Asia menjadi pengkhianat anti korupsi. Bahkan mereka lebih suka mengatakan bahwa sebenarnya sikap anti korupsi timbul dari barat yang sedang disosialisasikan di Asia, karena orang Asia tidak punya itu.
Namun jika hal itu ditarik pada bukti budaya orang Asia tentang persanakan dan hadiah, nampaknya budaya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk melakukan korupsi bagi orang Asia. Ada nilai yang luhur dari budaya tersebut yang diselewengkan oleh pelaku korupsi. Secara teori bahwa dalam setiap masyarakat terdapat pola-pola budaya ideal yaitu hal-hal yang menurut warga harus dilakukan atau norma – norma. Dalam kenyataan norma dalam banyak hal tidak sesuai dengan perilaku aktual. 11)
Oleh karena itu jika kita kembali pada pemikiran Alatas, bahwa korupsi bersendikan penipuan dan pencurian, dan dia menolak jika budaya Asia tenggara menjadi sebab korupsi, mungkin hal itu ada benarnya. Paling tidak dalam tataran pola-pola budaya ideal Asia mengajarkan penipuan dan pencurian.
Mungkin dalam studi ini perlu kita lihat sejarah Asia pada system patrimonial (kerajaan). Bisa jadi dalam masa itu memang ada pola-pola budaya baru modern.



10). Prof.DR.Kuncaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jembatan, hal 388
11). T.O.Thromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor Jakarta, hal. 13.

11


Seperti pemberian upeti atau hadiah kepada raja atau punggawa, apakah hal itu memang tidak termasuk penipuan dan pencurian dalam pola-pola budaya lama ? atau hal itu sebenarnya juga dianggap suatu tindakan korupsi bagi punggawa yang menerimanya. Dalam hal ini belum dapat kami sajikan dalam analis ini.
Nampaknya Alatas ingin melihat korupsi ini dengan asumsi dasar bahwa tidak mungkin dalam sejarah budaya manusia menghalalkan budaya-budaya jelek, sehingga sebenarnya dalam hal-hal yang negatif, ada garis kesamaan pada setiap komunitas dan sejarahnya. Sehingga tidak ada perubahan nilai tentang baik dan buruk. Pencurian, pengkhianatan, penipuan dan kejelekan lainnya tetap sama maknanya dalam sejarah manusia, begitu pula kebaikan. Namun apakah hal itu juga disadari oleh masyarakat pada masa tertentu bahwa budaya mereka tidak mengandung unsur-unsur kejelekan ? dan mengapa harus ada gugatan dikemudian hari tentang budaya suatu masyarakat ?. Dalam hal ini kami hanya mampu mengajukan asumsi bahwa kebaikan dan keburukan sangat terikat waktu dan tempat serta kondisi dimana perbuatan dilakukan. Dalam kaidah fiqhiyah ada:
تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكان
"perubahan hokum karena perubahan zaman (waktu) dan tempat"

E. Kesimpulan
Setelah kita bahas permasalahan budaya korupsi, dilihat dari sistem nilai
budaya yang ada pada masyarakat Asia tenggara, nampaknya pengamatan para pemikir barat tentang masalah ini lebih menunjukkan sikap otnosentris mereka terhadap budaya barat yang unik.
Penulis lebih cenderung sependapat dengan pemikiran S.H.Alatas, bahwa budaya masyarakat Asia bukanlah sebab adanya (maraknya) korupsi, namun justru mereka yang meninggalkan budaya tersebutlah yang mendorong ada dan maraknya korupsi. Dalam bentuk perilaku yang sama bisa jadi mempunyai nilai dan motif yang berbeda, hal ini tergantung pada individu itu sendiri, dalam melakukan perilaku tersebut.
Demikianlah paparan singkat ini , semoga bermanfaat.





---habe---
Budaya Korupsi di Dunia Budaya Korupsi di Dunia Reviewed by atcc Semarang on 09.06 Rating: 5

1 komentar

  1. Terimakasih, Budaya korupsi dari sudut pandang yang berbeda

    BalasHapus